About

Sunday, February 12, 2012

BELAJAR DARI BOROBUDUR


BELAJAR DARI BOROBUDUR

Candi Borobudur adalah candi peninggalan agama Budha, didirikan oleh raja Samaratungga dari dinasti Syailendra. Candi ini diperkirakan berdiri pada abad VIII, jadi lebih tua dari candi Prambanan. Borobudur termasuk wilayah Kabupaten Magelang Eks Karisidenan Kedu, Jawa Tengah. Letaknya yang strategis membuat Candi ini semakin diminati orang. Borobudur di kelilingi bukit Menoreh yang membujur dari arah timur ke barat, dan gunung-gunung berapi, di sebelah timur, gunung merapi dan merbabu, sedang di sebelah barat terdapat gunung  sumbing dan sindoro.

Bangunan Borobudur merupakan hasil akulturasi antara budaya asli Indonesia dan budaya India yaitu perpaduan antara Punden berundak dengan Stupa, antara agama Budha dan agama asli nusantara. Hal ini tentu menunjukkan kearifan budaya lokal nenek moyang bangsa kita yang sangat akomodatif dan kritis terhadap budaya dari luar, inilah watak asli nenek moyang kita. Dalam sejarah para pendahulu bangsa (jaman Hindu/Budha) belum pernah ditemukan adanya konflik dalam masyarakat yang disebabkan karena agama. Borobudur seolah memberi gambaran keteduhan untuk siapapun.

Arti Borobudur
Sampai saat ini belum diketahui secara jelas arti Borobudur.Menurut Prof. Dr. Poerba Caraka, Borobudur berasal dari kata Baradan Budur. Bara berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Vihara yang berarti kompleks Candi dan Bihara atau asrama. Sedangkan Budur sama artinya dengan Beduhur (Bahasa Bali) yang artinya diatas, jadi nama Borobudur berarti asrama atau Bihara / kelompok candi yang terletak diatas bukit. 

Pendapat lain dikemukakan oleh J.G. Cas Paris, berdasarkan prasasti cri kahulunan[#842 M] disitu disebutkan ada kuil yang bernama Bhumi Sambhara, menurut beliau nama itu tidak lengkap. Agaknya masih ada sepatah kata lagi untuk sebuah ”bukit” di belakangnya, sehingga nama seluruhnya seharusnya ”Bhumi Sambhara Bhudara”. Dari kata inilah akhirnya menjadi kata Borobudur. Sampai saat ini di daerah dekat candi masih ada desa yang bernama Bumi Segara diperkirakan nama itu berasal dari kata Bumi Sambhara. 

Pesan dari Borobudur 
Bagi mereka yang mempunyai ketajaman nurani  pasti mampu menangkap pesan dari nenek moyang lewat bangunan suci ini. Diatas tadi sudah disebutkan bahwa dari bentuknya  saja kita sudah diajari mengenai sikap  toleransi, kritis dan selektif terhadap budaya yang datang. Kita tidak menelan mentah-mentah pengaruh asing yang memang tidak cocok dengan pribadi bangsa. Dari Borobudur kita diajari tentang kejujuran yang mampu menciptakan bangunan yang kokoh dan dari sana pula kita belajar tentang perjalanan hidup manusia. Marilah kita tengok sejenak sebagian sisi dari Borobudur. Bangunan ini mempunyai tiga tingkatan yang utama yaitu Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu. 

Kamadatu
Pada tahap ini manusia belum mengenal aturan hidup yang baik, manusia merupakan srigala bagi yang lain (homo homini lupus belum om nium contra amnes) selain itu manusia juga masih mengumbar hawa nafsu, mereka belum bisa mengendalikan hawa nafsunya. Pada tataran ini manusia belum mengenal ajaran suci maka perbuatannya mengikuti kemauannya sendiri, manusia mirip binatang. 

Rupadatu
Pada tataran ini manusia sudah mulai mengenal ajaran suci, hidupnya sudah mulai teratur karena sudah bisa membedakan halbaik dan hal buruk, walaupun masih berada di dunia. mereka sudah mampu mempergunakan barang-barang dunia secara benar. Pada taraf ini manusia sudah bisa mengendalikan hawa nafsunyasecara baik. 

Arupadatu
Ini merupakan puncak  tertinggi pada candi Borobudur. Pada tataran ini manusia sudah tidak lagi memikirkan keduniawian, ibaratnya alam ini adalah alam Dewata yang penuh ketenangan, ketentraman yang tiada tara. Sembah manusia pada Hyang Maha Kuasa sudah mendapatkan jawabannya, disitulah terjadinya“Manunggaling Kawula Gusti”, bersatunya manusia dengan Tuhan. 

Ketika kita sampai pada puncak Borobudur ini, rasanya kita tidak mau turun karena kita sampai pada suatu tujuan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Di sanalah kita bisa berkomunikasi dengan sang pencipta secara sungguh-sungguh. Hal ini memberi pelajaran kepada kita jika  mau bertemu dengan sang pencipta  kita tidak boleh terbelenggu oleh keduniawian, barang siapa yang batinnya masih dihinggapi sifat rakus, egois, tamak dll tidak akan pernah bertemu dengan sesembahannya. 

Penutup 
Setelah kita melihat dan belajar dari Borobudur kita juga bertanya. Sekarang ini kita hidup di alam yang mana? Kamadatu, Rupadatu, atau Arupadatu? Saat ini kita hidup di dunia yang penuh nilai, banyak tawaran yang ditawarkan pada kita, semua mengaku yang paling baik, ibaratnya kita masuk kedalam pasar moral dan agama, kadang-kadang kita sampai bingung  memilih karena semuanya baik. Namun kadang kita juga kecewa karena sekarang ini  banyak  manusia yang hidup pada tataran Kamadatu, seolah mereka tidak mengenal ajaran suci itu. Banyak diantara mereka yang hidupnya mengabdi pada Mamon [harta dan kekuasaan]. Manusia masa kini cenderung menghalalkan segala macam cara untuk meraih cita-citanya, tidak peduli cara mereka menabrak nilai-nilai luhur yang  diajarkan oleh agama dan telah menjadi jati diri bangsa, bahkan lebih hebat lagi mereka mampu membungkus tindakan-tindakan biadab mereka dengan kata-kata suci dan logis. 

Borobudur sebuah karya manusia yang telah mengetahui “sangkan paraning dumadi” [asal dan tujuan hidup manusia]  memberi pelajaran kepada kita bagaimana  hidup  beradab, jauh dari korupsi, kolusi, nepotisme dan konflik SARA [suku, agama, antar golongan]. Melalui Borobudur   kita dapat merenungkan  kehidupan dahulu dan sekarang,  manusia zaman dahulu  mampu membuat karya  menakjubkan. Karya mereka sungguh mengangkat harga diri bangsa kita menjadi manusia yang berharga dan mempunyai martabat yang tinggi dihadapan bangsa lain. Karya agung seperti Borobudur tidak hanya dikerjakan dengan akal pikiran semata, tetapi Borobudur didirikan di atas cinta kasih sejati, cinta manusia kepada sang Pencipta. 

Candi Borobudur merupakan bentuk kokohnya mental manusia waktu itu, manusia yang belum terkooptasi oleh kejahatan. Jiwa mereka masih bersih, kecintaan  mereka kepada sang Pencipta mereka wujudkan dalam bentuk karya besar. Arca-arca Budha yang megah dan Agung, juga relief-relief yang terpahat pada dinding candi Borobudur yang  bercerita tentang keutamaan hidup manusia, seolah mengajak kita untuk selalu mengedepankan nilai-nilai luhur, meskipun gangguan dan godaan selalu ingin menggagalkan terwujudnya nilai-nilai luhur itu. Sang Prabu Samaratungga dari dinasti Syailendra seolah ingin membisikkan kepada generasi sekarang ”Aku tahu kepada Siapa aku mengabdimaka inilah persembahanku kepada negeri juga kepada  pencipta langit dan Bumi” 

Agustus 2010
R. BAMBANG SUNGKONO
SMAK Ricci 1 -

0 comments:

Post a Comment