MASIH ADAKAH DAYA SAING UNTUK SEKOLAH KITA?
Pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan refleksi bagi seluruh insitusi pendidikan / sekolah, bukan hanya sekolah yang di bawah lindungan Yayasan. Sebuah pertanyaan yang sering kali membuat kita terjebak untuk mencari kambing hitam dalam menemukan jawaban. Ada esensi yang dapat kita gali dari permenungan ini, yakni: apakah yang dimaksud dengan daya saing? Bersaing dalamhal apa?
Pertanyaan ini sempat didiskusikan dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh MPK (Majelis Pendidikan Katolik) Keuskupan Agung Jakarta pada akhir Agustus 2008. Dalam diskusi tersebut fokus materi adalah mencari jawaban atas pertanyaan dasar : masih adakah daya saing untuk sekolah kita?
Jika pertanyaan ini diajukan kepada kita, para penyelenggara pendidikan, jawaban apakah yang akan disampaikan? Pada umumnya akan menunjuk pada apa yang ada di luar dirinya. Mereka akan mengatakan bahwa pesaing mereka adalah munculnya sekolah-sekolah unggulan, sekolah bertaraf internasional. Atau jika sekolah itu sekolah swasta akan mengatakan pesaingnya adalah sekolah negeri, yang nota bene gratis, atau setidaknya menuntut biaya murah. Ini merupakan kecenderungan umum. Sekolah unggul atau sekolah bertaraf internasional menjadi pesaing karena mereka menawarkan berbagai fasilitas yang jauh lebih baik. Mereka tampil bukan hanya menggunakan pengantar bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa Inggris. Mereka hadir dengan menawarkan berbagai program enterpreuner atau ekstra yang menarik bagi peserta didik. Bahkan ada yang mengatakan karena mereka lebih mampu menonjolkan kedisiplinan dan kenyamanan bagi peserta didiknya. Sekolah-sekolah semacam inilah yang akan menjadi ancaman bagi sekolah-sekolah swasta.
Kita terjebak untuk melhat sisi luar kita. Kita sering kali lupa bahwa saingan yang paling dahsyat dalam dunia pendidikan kita adalah diri sendiri. Jika sekolah-sekolah bagus, sekolah unggulan, sekolah negeri mampu menawarkan berbagai kebutuhan yang diminta publik, mengapa kita tidak mampu memberinya. Benarkah kita tidak mampu? Atau karena kita tidak mau. Yang memprihatinkan adalah kita tidak mau. Kita sudah terlanjur merasa eksis dengan diri kita. Bagaimana kita mengupayakan sungguh terhadap peningkatan SDMnya. Bagaimana kedisiplinan dan kejujuran dalam insitusi pendidikan kita jika sekolah lain menawarkan berbagai fasilitas yang dibutuhkan, mampukah kita menyiasatinya sehingga apa yang dibutuhkan peserta didik dapat terpenuhi? Inilah antara lain dasar untuk mengatakan bahwa masalahnya bukan yang lain, melainkan diri sendiri.
Pertanyaan ini sempat didiskusikan dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh MPK (Majelis Pendidikan Katolik) Keuskupan Agung Jakarta pada akhir Agustus 2008. Dalam diskusi tersebut fokus materi adalah mencari jawaban atas pertanyaan dasar : masih adakah daya saing untuk sekolah kita?
Jika pertanyaan ini diajukan kepada kita, para penyelenggara pendidikan, jawaban apakah yang akan disampaikan? Pada umumnya akan menunjuk pada apa yang ada di luar dirinya. Mereka akan mengatakan bahwa pesaing mereka adalah munculnya sekolah-sekolah unggulan, sekolah bertaraf internasional. Atau jika sekolah itu sekolah swasta akan mengatakan pesaingnya adalah sekolah negeri, yang nota bene gratis, atau setidaknya menuntut biaya murah. Ini merupakan kecenderungan umum. Sekolah unggul atau sekolah bertaraf internasional menjadi pesaing karena mereka menawarkan berbagai fasilitas yang jauh lebih baik. Mereka tampil bukan hanya menggunakan pengantar bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa Inggris. Mereka hadir dengan menawarkan berbagai program enterpreuner atau ekstra yang menarik bagi peserta didik. Bahkan ada yang mengatakan karena mereka lebih mampu menonjolkan kedisiplinan dan kenyamanan bagi peserta didiknya. Sekolah-sekolah semacam inilah yang akan menjadi ancaman bagi sekolah-sekolah swasta.
Kita terjebak untuk melhat sisi luar kita. Kita sering kali lupa bahwa saingan yang paling dahsyat dalam dunia pendidikan kita adalah diri sendiri. Jika sekolah-sekolah bagus, sekolah unggulan, sekolah negeri mampu menawarkan berbagai kebutuhan yang diminta publik, mengapa kita tidak mampu memberinya. Benarkah kita tidak mampu? Atau karena kita tidak mau. Yang memprihatinkan adalah kita tidak mau. Kita sudah terlanjur merasa eksis dengan diri kita. Bagaimana kita mengupayakan sungguh terhadap peningkatan SDMnya. Bagaimana kedisiplinan dan kejujuran dalam insitusi pendidikan kita jika sekolah lain menawarkan berbagai fasilitas yang dibutuhkan, mampukah kita menyiasatinya sehingga apa yang dibutuhkan peserta didik dapat terpenuhi? Inilah antara lain dasar untuk mengatakan bahwa masalahnya bukan yang lain, melainkan diri sendiri.
Jika di tempat lain tenaga pendidiknya dapat memperoleh kesejahteraaan, sehingga dapat mengajar dengan tenang, bagaimana sekolah-sekolah swasta mengatasinya?
Pesaing sekolah kita.
Dalam diskusi tersebut disimpulkan bahwa sebenarnya yangmenjadi pesaing sekolah kita bukan yang lain, melainkan kita sendiri. Bagaimana hal itu dipahami? Sebagian besar peserta dengan bangga mengisahkan bahwa sekolah-sekolah Yayasan dahulu menjadi lembaga pendidikan yang dipilih masyarakat. Warga sekolahpun menjadi bangga terhadap sekolahnya. Gurunya bersemangat karena merasa dihargai dan dimanusiakan oleh sekolah. Kesejahteraan mereka terjamin. Sehingga pada masanya seorang guru akan dengan bangga menyebutkan sekolahnya ketika berinteraksi dengan orang lain. Itu sebabnya pada masanya sekolah-sekolah tersebut membuat ”iri” tenaga pendidik dari sekolah lain.
Murid-murid dan orang tua bangga, karena sekolah tempat anak-anak mereka dididik sungguh-sungguh memperhatikan pengembangan kepribadian yang utuh, kedisiplinan yang tinggi dan kejujuran yang dapat dibanggakan. Inilah nostalgia yang terungkap dalam diskusi tersebut. Lantas bagaimana sekarang?
Sekarang ini tampaknya kebanggaan baik para tenaga pendidiknya, masyarakat, orang tua dan peserta didik terhadap pendidikan swasta semakin mengalami erosi. Menjadi guru sekolah swasta rasanya tidak lagi menjadi kebanggaan, karena masa depannya tidak cukup menggembirakan. Sebagian guru merasa tidak termanusiawikan lagi karena mereka merasa seolah menjadi ”tool” institusi untuk meraih kepentingan tertentu. Orang tua dan peserta didik tidak lagi menjadi bangga, karena yang mereka rasakan sekarang lebih pada biaya mahal, tuntutan berat, tetapi kejujuran, kedisiplinan dan pengembangan kepribadian semakin memudar. Masyarakatpun ikut memberikan penilaian terhadap insitiusi pendidkan. Jika dahulu orang banyak yang harus antre sejak jam 05.00 untuk mendaftar sekolah anaknya, agar dapat tiket masuk, masihkah situasi itu dialami sekarang? Apakah yang membuat demikian? Imam Supriyono, adalam bukunya Guru Goblok ketemu Murid Goblok, memberikan satu permenungan, apakah yang membedakan sebelum dan sesudahnya?
Apakah yang dapat dilakukan?
Sekolah dikatakan sebagai sekolah unggul bukan semata-mata terletak pada fasilitas, penampilan. Keunggulan suatu lebaga pendidikan hendaknya tercermin dalam manajemen pengelolaannya. Dalam diskusi tersebut Sr. Yustiana CB menyebutkan ada tiga hal yang cukup penting, yakni:
1. Sumber Daya Manusia (SDM): keunggulan kompetitif terletak pada kualitas Sumber Daya Manusia. Bagaimana kualitas sumber daya yang dimiliki oleh lembaga pendidikan dan bagaimana dikembangkannya. Sumber daya manusia yang berkualitas menjadi faktor yang menentukan perkembangan suatu persekolahan termasuk juga masa depan peserta didik.
2. Standar akreditasi institusi kualitas sumber daya manusia memiliki bobot sangat tinggi 9,92 (urutan ke 2). Sumber daya manusia yang ada layak untuk diakreditasi. Pemerintah sekarang melakukan proses sertifikasi, sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga didik dan menetapkan kualitas tertentu setelah diproses. Bagaimana lembaga pendidikan non pemerintah, Yayasan, menetapkan standarisasi untuk tenaga didiknya? Hal ini menjadi hal yang harusdiprioritaskan.
3. Kualitas SDM saat ini tidak cukup hanya mempunyai core competence (Kompetensi inti) di bidangnya (mis: marketing, IT, HRD, design, secretary), namun harus dilengkapi dengan Soft Skill, kematangan emosi, excellent personality, dll
4. Hal lain yang tidak kalah penting, terutama bagi lembaga pendidikan swasta adalah sejauh mana spiritualitas pendiri telah terinternalisasi dalam seluruh insan pendidikan. Setiap sekolah didirikan selalu membawa visi – misi. Visi dan misi digali dari spiritualitas para pelindung atau pendirinya. Jika visi dan misi tersebut sungguh-sungguh menjadi spiritual seluruh stakeholder lembaga pendidikan, maka itu pertanda bahwa kekuatan masih dimiliki. Oleh karena itu , jika sekolah-sekolah swasta tidak ingin tersisih mereka harus berani untuk melakukan berbagai langkah untuk mengatasi hal ini.
Mari berjuang untuk pendidikan, berjuang untuk membantu generasi muda untuk membentuk diri sendiri secara utuh, dan tidak perlu terlalu cemas lagi dengan munculnya banyak sekolah baru. Mari tunjukkan visi- misi kita, kita buktikan komitmen untuk pendidikan. Kita memberi bukan yang diminta, tetapi yang dibutuhkan. Kita berbuat untuk mereka bukan karena mereka senang, tetapi yang memberikan masa depan yang terbaik.
Semoga Tuhan memberkati.........
Robertus S
- SMAK Ricci 1 -
- SMAK Ricci 1 -
(2009)
0 comments:
Post a Comment